Perbanyakkan amalan di bulan yang mulia ini...
 

Jumat, 16 Maret 2012

Pengendalian Diri

0 komentar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Cucu Surahman MA

Memperhatikan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, di mana seringnya dikabarkan bentrokan massa, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, sampai pada kabar kecelakaan kendaraan bermotor, patutlah kita merenung sejenak. Mengapa hal ini bisa terjadi di tengah masyarakat kita? Sudah tidak adakah kontrol diri di dalam pribadi masing-masing bangsa ini?

Mempertanyakan akan pengendalian diri adalah hal yang sangat penting, mengingat hanya dengan ada pengendalian dirilah seseorang akan dapat mengendalikan hati, pikiran, jiwa, dan raganya sehingga ia akan senantiasa berada dalam keselamatan dan kedamaian. Dan sebaliknya, tanpa adanya pengendalian diri maka seseorang akan mudah terjatuh ke dalam segala bentuk kecelakaan dan kehinaan.

Dalam Islam, derajat tertinggi manusia itu muttaqun (orang yang bertakwa). Kata takwa sendiri dalam arti bahasa adalah wiqayah al-nafs (penjagaan diri), yaitu pengendalian diri dari segala hal yang mencelakakan dan menjerumuskan.

Hal ini tecermin dari satu riwayat yang menceritakan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Khatab ra bertanya kepada sahabat Ubai Ibnu Ka'ab ra tentang takwa. Maka, berkatalah Ubai kepada Umar, “Pernahkah engkau melewati jalan yang penuh duri?”

“Ya, Pernah,” jawab Umar.
Ubai bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan saat itu?”

Umar menjawab, “Saya akan berjalan dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati sekali agar tak terkena duri itu.”

Lalu Ubai berkata, “Itulah takwa,” (Riwayat Ibn Katsir).

Allah SWT memang memberikan dua potensi kepada jiwa manusia, yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk berbuat jahat. Orang yang beruntung dan selamat adalah orang yang mampu menyucikan dirinya dari potensi jahat tersebut. Dalam arti lain, orang tersebut mampu mengendalikan dan menjaga dirinya dari segala macam godaan dan tipu daya setan.

Sebaliknya, sungguh merugi dan celakalah orang yang tidak bisa melepaskan diri dari potensi buruknya dan justru malah mengotorinya dengan berbagai macam dosa dan maksiat. Allah SWT berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS al-Syams: 7-10).

Bentuk-bentuk kejadian yang disebutkan di atas adalah gambaran dari tidak adanya pengendalian diri dari para pelakunya. Seseorang tidak mungkin akan tega menganiaya, memperkosa, atau membunuh orang lain, apa pun alasannya, kalau dia masih bisa mengendalikan dirinya. Dan, ingatlah menahan amarah, memaafkan orang lain, dan berbuat kebaikan di muka bumi adalah ciri orang yang bertakwa dan imbalannya adalah ampunan dan surga-Nya (QS Ali Imran: 133-134).

Read more...

Mempererat Tali Kerukunan

0 komentar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

Tindakan anarkis serta kekerasan pada masyarakat sepertinya sudah menjadi cara akhir dalam menyelesaikan segenap permasalahan. Padahal, jika kita renungkan, permasalahan yang terjadi hanya dipicu oleh persoalan sepele.

Memang jika kita jujur, tindak kekerasan terjadi di kota-kota besar dan bahkan di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Baik yang terjadi di masyarakat sipil, Aparat Kepolisian hingga Aparat Negara. Yang kita takutkan adalah, mengutip Ariyanto Nurcahyono dalam artikel ”Kekerasan sebagai fenomena budaya”, yang sangat mengkhawatirkan tindakan kekerasa sudah dianggap suatu kewajaran.

Gejala ini terlihat ketika mayoritas media massa kita senang menayangkan tema-tema kekerasan. Kecenderungan itu berlangsung secara terus-menerus dan setiap saat maka akibatnya manusia menjadi tidak peka bahkan menjadi mati rasa terhadap gejala serta prilaku kekerasan. Ditambah masih adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap Aparat Penegak Hukum.

Jadi cara main ’hakim sendiri’ yang kian marak di masyarakat kita merupakan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Padahal ketika masyarakat sudah menganggap wajar tindakan kekerasan maka itu harus dilihat sebagai gejala krisis sosial, krisis kemanusiaan, dan krisis moralitas.

Satu hal yang mungkin dapat dipakai untuk pokok bahan renungan kita semua tanpa kecuali rasa persaudaraan sesama anak bangsa saat ini sudah memudar. Ikatan-ikatan persaudaraan sesama anak bangsa sedikit demi sedikit kian hilang. Egoisme dan fanatisme sempit kian menguat. Sehingga memporak-porandakan ikatan persaudaraan antar sesama warga.

Tali persaudaraan akan tercapai apabila jalinan persaudaraan sesama warga, mahluk ciptaan Allah SWT, terbina. Persaudaraan yang dimaksud bukan hanya sebatas antar sesama muslim akan tetapi dengan seluruh warga masyarakat yang boleh jadi sangat plural. Maka sikap terbuka dan toleran menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah ungkapan yang populer namun sering mendapat pemaknaan yang keliru adalah ukhuwah Islâmiyyah. Ungkapan ini sering dipahami sebagai “persaudaraan antar sesama muslim”. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Alquran.

Persaudaraan yang diajarkan Alquran tidak sebatas sesama Muslim, namun juga ukhuwah ‘ubudiyyah (persaudaraan dalam ketundukan kepada Allah), ukhuwah insāniyyah/basyariyyah (persaudaraan antar sesama manusia), ukhuwah wathaniyyah wa al-nasab (persaudaraan sebangsa dan seketurunan) dan ukhuwah fī dīn al-Islām (persaudaraan antar sesama). Agar tercipta suatu masyarakat rukun ialah yang terpenting adalah peranan dari pemerintah langsung dan partisipasi masyarakat itu sendiri sehingga terciptanya suatu konsep masyarakat ideal.

Masyarakat rukun juga dipahami segenap tingkah laku manusia yang dianggap sesuai; tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum, dan terpenting tidak adanya kekerasan di ranah publik.

Dalam konteks membangun kehidupan masyarakat sipil yang berahlak mulia dengan prinsip saling menghormati dan saling menghargai adalah dengan mengakui adanya perbedaan suku, agama, keyakinan, etnis dan latarbelakang masyarakat itu sendiri. Termasuk juga menghargai cara pandang dan cara pikir antar satu masyarakat dengan masyarakat lain. Meski berbeda-beda, tetap satu.

Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan dan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan serta mendukung keberadaan dan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Pendidikan multikultural di sini sangat penting, agar rasa fanatisme tidak berkembang di tengah-tengah masyarakat. Karena patut kita akui, rasa fanatisme berlebihan itu kerap menimbulkan sesama warga saling ejek, saling merendahkan. Akibatnya, terjadi tindak kekerasan yang berujung pada kerusuhan. Rasa fanatisme boleh saja, asal diimplementasikan dalam bentuk karya kreativitas. Misalnya, dengan membuat kerajinan, atau produk-produk unggulan lainnya.

Tentunya melalui pendidikan multikulturalisme menjadi suatu kebutuhan. Pemberian materi-materi multikulturalisme di setiap sekolah bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat fondasi dan ideologi multikulturalisme. Pelajaran multikulturalisme di sekolah-sekolah juga sebagai pencegah terjadinya konflik sosial antar sukubangsa dan tindak kekerasan yang berbau etnis ataupun berbau organisasi etnis. Sehingga warga memiliki kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya
Read more...

Hidup Bertawakal

0 komentar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Inami Gus'am

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS al-Maidah (5): 23). Di tengah bahtera kehidupan yang terus bergelombang dan tidak pernah surut dari berbagai problematikanya, kita perlu memiliki sebuah pegangan dan ‘navigasi’ yang mengantarkan kita pada pulau tujuan.

Sebagai insan Muslim hendaknya memiliki komitmen dan prinsip hidup. Apa pun lapangan usaha yang ditekuni, bidang keilmuan yang dikaji, maupun aspek kehidupan yang dijalani, setiap Muslim tetap berusaha dan berupaya. Kekuatan yang terpendam dalam setiap diri seorang Muslim ialah potensi besar yang dimiliki dan harus digali.

Memaksimalkan kemampuan diri mengarah pada upaya memaksimalkan ikhtiar kita. Inilah yang Allah sebutkan dalam QS ar-Ra’d ayat 11. Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah Ta’ala setelah melakukan usaha secara maksimal. Itu bermakna dalam hidup kita tidak ada suatu tindakan atau perbuatan yang tidak memiliki dasar yang jelas. Semua hal dilakukan karena adanya unsur perintah dan meninggalkan segala hal karena memang jelas adanya unsur larangan.

Memaknai tawakal diperlukan pemahaman bahwa terdapat ikatan yang kuat antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Sang Pencipta. Ikatan yang berimplikasi pada adanya hubungan ini mestinya dijalin dengan baik oleh manusia. Dengan demikian, pada klimaks usaha yang dilakukan seseorang tetap saja kembali ke muara segala sesuatu, yaitu Allah. Pasrah secara total kepada-Nya.

Kita bersikap menerima dengan ikhlas atas segala yang diberikan Allah Ta’ala dari usaha yang dilakukan. Ini adalah kenyataan yang berat dalam hidup kita. Sebab, yang sering terjadi pada kita adalah selalu menanggapi hal-hal yang tidak mengenakkan dalam hidup kita dengan mengeluh. Kita betul-betul merasa berat ketika mendapat ujian dan cobaan yang, menurut kita, tidak mengenakkan karena cenderung merepotkan atau menyusahkan.

Kita perlu menyadari bahwa manusia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang dikehendakinya. Yang diperbolehkan hanyalah rencana-rencana manusiawi. Meski demikian, sesegera mungkin kembali menyadari bahwa segala yang terjadi merupakan kewenangan Allah Ta’ala. Alquran menyebutkan dengan tegas dan jelas, “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS al-Ahzab (33):38).

Tawakal perlu dipupuk, diutamakan, dan diperjuangkan. Karena sedemikian pentingnya tawakal dalam hidup, hingga kita perlu mengetahui bagaimana cara bertawakal, yaitu merasa cukup terhadap apa yang didapat dan dimiliki, tetap meningkatkan usaha agar lebih baik, membiasakan bersyukur kepada Allah atas pemberian-Nya, mengawali pekerjaan dengan niat ibadah, menyadari bahwa manusia memiliki banyak kekurangan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar/usaha.

Obat yang paling mujarab untuk mengatasi berbagai masalah hidup adalah membiasakan diri bertawakal kepada Allah Ta’ala. Dalam kehidupan kita, tawakal berfungsi mengurangi tekanan batin/jiwa, terhindar dari kecewa dan stres berat, juga meringankan langkah dalam menjalani hidup sehari-hari. Kita adalah manusia. Kewajiban kita adalah berusaha. Masalah keputusan—berhasil atau gagal—tetap di tangan Allah Ta’ala. Dia Yang Mahakuasa akan memutuskan sebatas yang dikehendaki sesuai dengan usaha yang dilakukan manusia

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/03/13/m0sym7-hidup-bertawakal

Read more...

Restu Ibu, Kunci Kemudahan Hidup

0 komentar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
Libur musim panas adalah masa yang paling ditunggu-tunggu mahasiswa. Selama tiga bulan para mahasiswa akan menikmati libur bersama keluarga. Sebulan sebelum libur, bagian kemahasiswaan universitas sudah membagikan formulir. Setiap mahasiswa dipersilakan menuliskan rute perjalanan masing-masing, mulai dari Bandara Riyadh sampai bandara terdekat dari kota tempat berdomisili. Seperti halnya seluruh kampus di Arab Saudi, Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Riyadh memberikan tiket gratis pulang pergi ditambah dengan uang saku sebanyak beasiswa tiga bulan.

Sudah dua musim panas sahabat yang akan kita ceritakan ini—sebut saja namanya Yunis-- libur ke Tanah Air. Libur tahun ini, dia ingin mengunjungi Eropa. Mumpung sudah dekat, kalau dari Tanah Air, entah kapan dia bisa mengunjungi Eropa. Berdasarkan pengalaman teman-teman sebelumnya, yang penting selama berkunjung ke Eropa ada tempat penginapan gratis.

Atas rekomendasi seorang senior yang pernah berdakwah ke Eropa, Perhimpunan Pelajar Muslim Eropa di Berlin Barat bersedia mengundang Yunis berdua dengan temannya Yusuf memberikan pengajian selama Ramadhan di Berlin Barat, ditambah khutbah Idul Fitri. Penginapan, makan minum, dan tiket domestik ditanggung PPME.

Berbekal surat undangan dari PPME, Yunis ditemani Yusuf dengan optimistis pergi ke Bandara Riyadh, mengurus rute perjalanan. Tapi di luar dugaan, petugas Arab Saudi menolak permintaannya. Bahkan, dengan ketus mengatakan, “Mafi tahwil! Tiket diberikan universitas kepada saudara untuk pulang ke Tanah Air mengunjungi keluarga, bukan untuk libur ke Eropa.” Yunis menunjukkan surat undangan dakwah dari PPME, tapi petugas sama sekali tidak mau melihatnya. Dengan langkah gontai mereka kembali ke asrama.

Malamnya, Yunis merenung sambil introspeksi. Apa kesalahannya, mengapa saat gilirannya, pihak Arab Saudi tidak mengizinkan, sementara teman-teman lainnya lancar-lancar saja. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Astaghfirullah! Bukankah aku belum pernah minta izin sama ibu di rumah? Beliau pasti menunggu-nunggu kepulangan putranya di waktu liburan.” Segera dia tulis surat minta restu ibunya. Besok pagi-pagi surat itu segera diposkannya.

Tanpa memberitahukan Yusuf tentang surat itu, mereka berdua kembali ke bandara, mencoba lagi mengurus perubahan rute tiket. Alhamdulillah, petugas Saudia menyambutnya dengan ramah. Tiketnya dapat diubah dengan rute baru: Riyadh-Jeddah-Frankfurt-Denhaag-London-Paris-Roma-Jeddah-Riyadh. Bahkan, petugas Arab Saudi memujinya karena bersedia mengorbankan musim libur untuk berdakwah di Eropa. Yunis berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada petugas itu. “Jazakallah khair,” katanya dengan penuh kegembiraan.

Sahabat kita yakin, Allah SWT memberikan kemudahan kepadanya karena restu ibu, sekalipun surat itu pasti belum sampai ke tangan sang ibu. Allah Yang Mahakuasa yang telah menyampaikannya ke dalam hati sang ibu.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/03/14/m0vf15-restu-ibu-kunci-kemudahan-hidup
Read more...