Perbanyakkan amalan di bulan yang mulia ini...
 

Minggu, 29 Juli 2012

Tradisi Toleransi dari Sunan Kudus...

1 komentar

KOMPAS.com - Sekitar 550 tahun lalu, Sunan Kudus, salah seorang Wali Songo, berdiri di depan serambi Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah. Warga Al Quds atau Kudus pun menanti dengan penuh harap.

Sunan Kudus, yang ahli perbintangan, mengambil penabuh beduk. Saat Matahari mulai terbenam, ia menabuh beduk bertalu-talu sebagai tanda dimulainya bulan suci puasa. Kisah itu lalu dikenal sebagai tradisi dhandhangan, yang berasal dari suara beduk Masjid Menara Kudus yang berbunyi, ”Dhang-dhang-dhang....”

Peristiwa yang pertama kali dilakukan Sunan Kudus itu kini masih berlanjut. Warga Kudus setiap bulan Ramadhan selalu melakukan tradisi dhandhangan itu. Pekan lalu tradisi itu digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus dengan visualisasi, yang dihadiri ribuan warga. Kisah awal tradisi itu pun seperti hadir kembali.

Semula Al Quds adalah Desa Tajug. Warganya penganut animisme dan agama Hindu. Kehadiran Sunan Kudus membuat banyak warga Tajug menjadi Muslim. Namun, warga yang mempertahankan keyakinannya tetap dirangkul Sunan Kudus. Mereka hidup berdampingan.

Bahkan, untuk menghargai pemeluk agama Hindu, Sunan Kudus melarang warga menyembelih sapi, yang menjadi binatang suci dalam agama Hindu. Ia juga tidak meruntuhkan candi Hindu di desa itu. Candi itu justru dijadikan sebagai menara masjid yang kini dikenal sebagai Menara Kudus.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Hadi Sucipto mengatakan, pemerintah berkomitmen melestarikan dhandhangan. Dalam tradisi itu terkandung pesan toleransi antarumat beragama.

Dalam prosesi tradisi dhandhangan, pemerintah mengolaborasi tradisi itu dengan tradisi di desa rintisan wisata di Kudus lainnya. Hal itu, misalnya, tradisi kirab ahli pembuat gebyok rumah adat Kudus Mbah Rogomoyo, air salamun Masjid Wali, dan ampyangan. ”Lewat dhandhangan, kami ingin melestarikan pula potensi tradisi desa lain,” kata Hadi lagi.

Penulis buku Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, Nur Said menilai tradisi dhandhangan kini mengalami pergeseran. Masyarakat Kudus lebih tertarik berdagang dan mengunjungi Pasar Rakyat ketimbang berziarah ke Masjid Menara Kudus.

Namun, ia mengakui, tradisi itu terbuka bagi siapa pun, tanpa memandang etnis atau agamanya. Dhandhangan adalah momen toleransi rakyat. (hen)

Sumber : KOMPAS.com

Read more...

Rabu, 25 Juli 2012

Inilah 9 Makna Penting Ramadhan

0 komentar

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita.

Ramadhan yang setiap tahun kita jalani sangatlah penting dimaknai dari perspektif nama-nama lain yang dinisbatkan kepadanya. Para ulama melabelkan sejumlah nama pada Ramadhan.

Pertama, Syahr al-Qur’an (bulan Alquran), karena pada bulan inilah Alquran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu, kitab-kitab suci yang lain: Zabur, Taurat, dan Injil, juga diturunkan pada bulan yang sama.

Kedua, Syahr al-Shiyam (bulan pua sa wajib), karena hanya Ramadhan me ru pakan bulan di mana Muslim diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Dan hanya Ramadhan, satu-satunya, nama bulan yang disebut dalam Alquran. (QS al-Baqarah [2]: 185).

Ketiga, Syahr al-Tilawah (bulan membaca Alquran), karena pada bulan ini Jibril AS menemui Nabi SAW untuk melakukan tadarus Alquran bersama Nabi dari awal hingga akhir. Keempat, Syahr al-Rahmah (bulan penuh limpah an rahmat dari Allah SWT), karena Allah menurunkan aneka rahmat yang tidak dijumpai di luar Ramadhan. Pintu-pintu kebaikan yang mengantarkan kepada surga dibuka lebar-lebar.

Kelima, Syahr al-Najat (bulan pembebasan dari siksa neraka). Allah menjanjikan pengampunan dosa-dosa dan pembebesan diri dari siksa api neraka bagi yang berpuasa karena iman dan semata-mata mengharap ridha-Nya. Ke enam, Syahr al-’Id(bulan yang berujung/ berakhir dengan hari raya). Ramadhan disambut dengan kegembiraan dan diakhiri dengan perayaan Idul Fitri yang penuh kebahagiaan juga, termasuk para fakir miskin

Ketujuh, Syahr al-Judd (bulan kedermawanan), karena bulan ini umat Islam dianjurkan banyak bersedekah, terutama untuk meringankan beban fakir dan miskin. Nabi SAW memberi keteladanan terbaik sebagai orang yang paling dermawan pada bulan suci.

Kedelapan, Syahr al-Shabr (bulan kesabaran), karena puasa melatih seseorang untuk bersikap dan berperilaku sabar, berjiwa besar, dan tahan ujian.

Kesembilan, Syahr Allah (bulan Al lah), karena di dalamnya Allah melipatgandakan pahala bagi orang berpuasa.

Jadi, Ramadhan adalah bulan yang sangat sarat makna yang kesemuanya bermuara kepada kemenangan, yaitu: kemenangan Muslim yang berpuasa dalam melawan hawa nafsu, egositas, keserakahan, dan ketidakjujuran. Sebagai bulan jihad, Ramadhan harus dimaknai dengan menunjukkan prestasi kinerja dan kesalehan individual serta sosial.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID,
Read more...

Inilah 5 Keutamaan Membaca Alquran

0 komentar

Alquran Al-Karim adalah pedoman hidup umat manusia, walaupun yang mengambil manfaat hanyalah orang-orang yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 2). Begitu banyak hikmah dari memperbanyak membaca Alquran.

Pertama, mendapatkan pahala yang sangat banyak, di mana satu huruf diberi balasan dengan sepuluh kebajikan, sebagaimana diriwayatkan oleh Iman At-Tirmidzi dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. Kita tahu bahwa seluruh Alquran, menurut sebuah literatur berjumlah 325.015 huruf, yang berarti satu kali khatam Alquran mendapatkan nilai pahala kebajikan kelipatan sepuluh, yakni 3.250.150.

Tentu untuk meraihnya, kita harus berusaha memperbanyak membaca Alquran. Baik sebulan sekali, dua bulan sekali, atau bahkan tiga bulan sekali. Bahkan banyak di antara ulama Alquran yang mampu mengkhatamkan Alquran setiap seminggu sekali.

Kedua, Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang selalu membaca Alquran, mempelajari isi kandungannya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab Alquran dan Allah merendahkan kaum yang lainnya (yang tidak mau membaca, mempelajari dan mengamalkan Alquran).” (HR Bukhari).

Secara logika dapat kita pahami, mengapa orang-orang yang membaca dan mempelajari isi kandungan Alquran dan berusaha mengamalkannya diangkat derajatnya oleh Allah SWT? Orang-orang yang membaca Alquran berarti orang-orang yang selalu dekat dengan Allah, bahkan membaca Alquran merupakan bercakap-cakap dengan Allah SWT.

Ketiga, mendapatkan ketengan jiwa atau hati yang sangat luar biasa, di mana setiap ayat Alquran yang dibacanya akan mendatangkan ketenangan dan ketentraman bagi para pembacanya. Sebagaimana diterangkan dalam surah Al-Isra [17] ayat 82, Alquran diturunkan Allah SWT untuk menjadi obat segala macam penyakit kejiwaan. Sehingga para pembaca Alquran, bahkan orang yang mendengarkan bacaannya mendapat pula ketenangan jiwa.

Keempat, mendapatkan syafaat (pertolongan) pada hari Kiamat. Hal ini dijelaskan pada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim. “Bacalah Alquran oleh kamu sekalian, karena bacaan Alquran yang dibaca ketika hidup di dunia ini, akan menjadi syafaat/penolong bagi para pembacanya di hari Kiamat nanti.”

Maka perbanyaklah membaca Alquran ketika nafas masih menyertai kita dan denyut jantung masih bergerak, karena bacaan Alquran akan menjadi syafaat/penolong bagi para pembacanya di hari Kiamat nanti, dikala manusia banyak yang sengsara dan menderita.

Kelima, akan terbebas dari aduan Rasulullah SAW pada hari Kiamat nanti, di mana ada beberapa manusia yang diadukan Rasulullah SAW pada hari Kiamat dihadapan Allah SWT.

Jadi, perbanyaklah membaca Alquran, luang waktu sisa-sisa kehidupan yang Allah berikan untuk memperdalam ajarannya. Jangan disia-siakan, karena Alquran akan mengantarkan kemudahan kita ketika menghadap Allah SWT (sakaratul maut).

Sumber :REPUBLIKA.CO.ID,

Read more...

Puasa Ramadhan Mengikis Budaya Malas

0 komentar
Seorang anak membaca Alquran dalam kegiatan khataman secara massal menyambut Ramadhan di Lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta, Kamis (19/7). (Aditya Pradana Putra/Republika)

Akhir pekan ini, seluruh umat Islam dipastikan sudah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Hampir seluruh umat Islam yang beriman menjalankan ibadah di bulan penuh berkah ini.Namun, biasanya kita juga melihat ada yang kontras ketika Ramadhan tiba. Masjid-masjid penuh. Bukan untuk beribadah membaca al-Quran, tetapi banyak umat Islam yang berleha-leha, tidur-tiduran menghabiskan waktu siang mereka.


Produktivitas kerja menurun. Nuansa bermalas-malasan kentara. Seakan-akan puasa menjadi legitimasi sebagian dari kita untuk bermalas-malasan dan mengurangi aktivitas sepanjang menjalankan ibadah puasa. Pengurangan aktivitas itu tentu saja berujung pada berkurangnya kreativitas. Jika demikian terjadi maka sungguh disayangkan.

Sepantasnya, Ramadhan menjadi momentum meningkatkan produktivitas dan berkarya, bukan bermalas-malasan.bila dihayati secara mendalam, Ramadhan seperti madrasatun mada al-hayah (madrasah sepanjang hayat) yang berkelanjutan mendidik dan mengedukasi generasi demi generasi setiap tahun. Ramadhan memuat makna-makna iman pada jiwa manusia, mengilhami mereka arti agama yang hanif, dan memantapkan kepribadian Muslim yang hakiki.

Kesempatan Ramadhan yang di dalamnya dijanjikan rahmat (karunia), maghfirah (ampunan), dan itqun min al-nar(pembebasan dari api neraka), sesungguhnya momentum ideal menemukan solusi banyak hal bagi umat. Puasa yang benar dapat membangunkan hati Mukmin yang ‘tertidur’ sehingga merasakan muraqabatullah (perasaan diawasi Allah).

Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, Ramadhan menjadi bulan jihad. Banyak peristiwa bersejarah yang mencatat bahwa Ramadhan menjadi bulan jihad umat Islam. Pada tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 hijriah, umat Islam mengalami perang Badar.

Perang ini terjadi di gurun pasir yang melibatkan 314 muslimin melawan 1000-an orang kafir dari Makkah. Peperangan ini adalah salah tonggak penting dalam sejarah Islam, karena sejak itulah umat Islam memulai era peperangan secara fisik, yang tentunya membutuhkan kemampuan yang lebih berat. Kalau mentalitas mereka seperti umat Islam zaman sekarang yang hobi tidur siang di bulan Ramadhan, tentunya sulit memenangkan peperangan.

Dan kota Mekkah dibebaskan juga pada bulan Ramadhan pada tahun ke-8 hijriah. Rasulullah SAW menyiapkan tidak kurang dari 10 ribu pasukan lengkap dengan senjata yang berjalan dari Madinah dan mengepung kota Makkah. Makkah menyerah tanpa syarat, namun semua diampuni dan dibebaskan.

Pada abad pertengahan atau tahun 15 Hijriah terjadi perang perang Qadisiyyah dimana orang-orang Majusi di Persia (saat ini wilayah Republik Islam Iran) ditumbangkan. Demikiran juga pertama kali Islam menaklukkan Spanyol di bawah pimpinan Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair, juga terjadi di bulan Ramadhan tahun 92 hijriyah. dan sekian banyak kerja keras yang lain, terjadi di bulan Ramadhan.

Ramadhan seharusnya menjadi sarana yang sangat efektif menghadirkan internalisasi nilai kebajikan guna menghadapi berbagai tantangan yang muncul di tengah masyarakat. Ramadhan satu bulan penuh, Muslim di-training oleh SuperTrainer-nya, yaitu Allah SWT, Dzat yang Maha segala-galanya. Tentu hasilnya akan juga luar biasa, bila itu dilakukan dengan penuh keseriusan dan mendamba ridha Allah.

Karena itu, sepantasnya Ramadhan dimanfaatkan secara optimal oleh semua unsur untuk meningkatkan kreatifitas dan karya. Sikap dan kepribadian positif, produktif, empatik, dan menghadirkan keputusan win-win solution adalah sosok pribadi yang lulus secara gemilang dari madrasah Ramadhan yang penuh solusi.

Perlu bagi umat untuk kembali merenungkan ungkapan terakhir dari surat al-Baqarah:183, bahwa yang mewajibkan puasa adalah la’allakum tattaqun dalam kata kerja mudhari yang hendaknya dimaknai agar dapat merealisasikan nilai-nilai muraqabatullah, ketaatan, dan kasih sayang secara terus-menerus, tidak hanya di saat bulan Ramadhan.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/07/20/m7fxd9-puasa-ramadhan-mengikis-budaya-malas

Read more...

Tarawih, Bukan Pada Hitungan Rakaat

0 komentar

Tarawih merupakan shalat malam (qiyamul lail) di bulan Ramadhan. Tarawih berasal dari kata raahah yang berarti bersantai setelah empat rakaat.

Artinya shalat ini dapat dikerjakan tidak sekaligus dalam satu rangkaian, namun dapat disela-sela dengan kegiatan lain di luar shalat setelah menyelesaikan empat rakaat, empat rakaat.

Rasulullah SAW tercatat tiga kali melakukan shalat tarawih di masjid yang diikuti oleh para sahabat pada waktu lewat tengah malam. Khawatir shalat tarawih diwajibkan karena makin banyaknya sahabat yang turut berjamaah, pada malam ketiga Rasulullah SAW lalu menarik diri dari shalat tarawih berjamaah dan melakukannya sendiri di rumah.

Pada saat selesai shalat Subuh beberapa hari kemudian beliau menyampaikan konfirmasi, “Sesungguhnya aku tidak khawatir atas yang kalian lakukan pada malam-malam lalu, aku hanya takut jika kegiatan itu (tarawih) diwajibkan yang menyebabkan kalian tidak mampu melakukannya.” (HR. Bukhari).

Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Khathab memerintahkan shalat tarawih berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab sebanyak dua puluh tiga rakaat dan bacaan sekitar 200 ayat, setelah sekian lama para sahabat shalat sendiri-sendiri.

Kegiatan tersebut didasari oleh kemaslahatan bersama akan persatuan dan kesatuan kaum Muslim. Menyaksikan indahnya tarawih berjamaah lewat tengah malam, Umar bin Khathab berkata, "Ini adalah bid'ah yang paling nikmat."

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, kegiatan shalat tarawih ditambah hingga 33 rakaat dengan alasan perbedaan kualitas ibadah kita dengan Rasulullah SAW. Namun, jumlah rakaat tarawih yang terakhir ini hanya masyhur pada zaman itu dan tidak popular hingga zaman kita saat ini.

Perbedaan jumlah rakaat tarawih disebabkan oleh tidak adanya batasan jumlah rakaat saat Rasulullah SAW melakukannya dalam tiga malam itu. Imam As-Syuyuthi menukil pernyataan Imam Al Taj As-Subhi berkata, “Tidak adanya batasan rakaat karena tarawih adalah shalat sunah. Yang mau sedikit (rakaatnya) silakan, yang mau banyak juga dipersilahkan.”

Di banyak negara, kita menjumpai kaum Muslimin melaksanakan shalat tarawih dengan delapan atau dua puluh rakaat. Di banyak masjid Maroko, shalat tarawih dua puluh rakaat dipecah menjadi dua bagian, yaitu setelah shalat Isya dengan delapan rakaat dan satu jam sebelum Subuh dengan dua belas rakaat plus tiga witir.

Di Indonesia, sekitar dua puluh tahun lalu, rakaat tarawih dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang apakah dia NU atau Muhammadiyah. Jika shalat tarawihnya dua puluh rakaat, kita akan menyatakan bahwa dia NU. Sebaliknya jika delapan rakaat, dengan mudah kita akan mengatakan dia Muhammadiyah.

Namun saat ini, sejalan dengan pendalaman keagamaan masyarakat dan kemudahan mendapatkan akses informasi keagamaan, ukuran tersebut tidak lagi dapat dipakai untuk menentukan ke-NU-an maupun ke-Muhammadiyah-an.

Pasalnya, sudah banyak orang NU yang berpikir simpel, praktis dan ekonomis sehingga memilih delapan rakaat tarawih plus witir. Sebaliknya, banyak orang Muhammadiyah yang melebihi pemikiran ke-Muammadiyah-annya yang tidak hanya mencukupkan diri dengan delapan rakaat, melainkan dua puluh rakaat.

Tarawih adalah shalat sunah yang dapat dilakukan dengan banyak rakaat dan banyak jeda istirahat. Jangankan dipecah menjadi dua kali, lebih dari dua pun tidak masalah asalkan menambah persaudaraan, kebersamaan, kerukunan dan persatuan umat. Maka sesungguhnya tidak ada ruang bagi kita untuk mempersoalkan rakaat shalat tarawih karena ia shalat sunah, apalagi jika dilakukan dengan visi membangun persatuan umat.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/07/23/m7lnfa-tarawih-bukan-pada-hitungan-rakaat

Read more...

Merindukan Ramadhan

0 komentar
Merupakan suatu anugerah nikmat yang luar biasa, apabila kita masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk hidup, beraktivitas, dan beribadah di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan keagungan, kemuliaan, dan keberkahan.

Betapa tidak, suasana Ramadhan adalah suasana kebatinan, suasana spiritual, suasana rohani, dan suasana samawi. Wajah-wajah orang yang berpuasa yang penuh dengan keikhlasan adalah wajah-wajah calon ahli surga, insya Allah. Wajah yang menggambarkan ketundukan dan kepatuhan pada aturan Allah SWT.

Siap melaksanakan perintah-Nya dan siap pula bersegera meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Sikapnya hanya satu “sami’na wa atho’na” (kami mendengar dan kami siap melaksanakan).

Allah SWT berfirman dalam QS An-Nur [24] ayat 51-52: ”Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS An-Nur [24]: 51-52).

Ramadhan 1433 H ini menjadi momentum bagi kita untuk meningkatkan amal ibadah sekaligus menumpahkan kerinduan akan kedatangan Ramadhan. Ramadhan merupakan tamu agung, istimewa, dan mulia. Kedatangannya senantiasa memberikan rasa damai, indah, dan kebahagiaan.

Kami rindu untuk segera bertemu denganmu. Rindu karena Ramadhan adalah bulan pendidikan dan training untuk menjadikan kita semua orang-orang yang semakin meningkat ketakwaannya.

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183). Takwa adalah indikator utama kemuliaan seseorang dan suatu bangsa (QS Al-Hujurat [49] ayat 13), sekaligus indikator yang akan mengundang turunnya keberkahan dari langit dan munculnya keberkahan dari bumi.

Perhatikan firman-Nya dalam QS Al-A’raf [7] ayat 96: ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Mari kita persiapkan mental, fisik, dan ilmu pengetahuan untuk mengisi bulan suci Ramadhan 1433 H dengan penuh kerinduan dan kekhusyukan dalam mencari keridaan Allah. Kita isi hari-harinya dengan ibadah-ibadah yang dianjurkan, seperti membaca Alquran, berzikir, memperbanyak shalat sunah, dan bersedekah.

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan dengan penuh keikhlasan dan keimanan, serta mengharapkan ridha Allah, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari). Semoga Allah SWT senantiasa menerima segala amal ibadah kita. Amin. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/07/25/m7pf8i-merindukan-ramadhan

Read more...

Minggu, 22 Juli 2012

Salam Ramadhan 1433

0 komentar
Read more...

Rabu, 04 Juli 2012

0 komentar
Read more...